Sekilas aku mengenalnya sebagai Ranum. Anak dari garisan matahari. Saat fajar, di mana semua masih terasa dingin. Dia menyapaku. Hijau, layaknya warna yang terlalu dini. Namun aku bahagia. Sekali lagi…aku bahagia!.
Kamipun berlayar di sungai itu. Dengan rakit-rakit kayu yang begitu rapuh. Mengikuti arus yang amat melenakan. Tapi entah mengapa, kurasakan langkahku melesat terlalu cepat. Meninggalkan Ranum di balik punggungku.
Hingga sempat kulihat dia tertahan. Bergumam dengan hatinya sendiri. Bertanya: ”Apa benar ini yang kau inginkan?”. Sungguh, aku terperanjat!. Ingin rasanya aku berhenti. Namun kaki-kaki kekar hatiku tak mau berhenti. Aku kalah!.
Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Berharap keajaiban datang menggerogoti keputus-asaanku. Dan benar saja, gambaran Ranum tiba-tiba berdiri disampingku lagi. Di atas rakitnya. Mengiringi kembali perjalananku yang hampir tertatih-tatih.
Kembali sudah senyumanku yang sempat sirna. Bersama nyanyian-nyanyian Ranum yang menghiburku. Membuat aku merasa seperti bayi kembali. Dengan mata dan kulit yang masih segar. Saat itu Ranum seakan menjadi ibuku. Tempat aku berharap belaiannya saat menangis.
Dan aku yang bahagia kemudian terus mengembara dengan suka cita. Menembangkan lagu-laguku sendiri untuk Ranum. Biar aku dan dia tahu, bahwa aku mengasihinya. Karena bagiku, hanya dia yang mampu mengeluarkan aku dari sana…dari malam tanpa bulan dan bintang. Dunia yang tak pernah menberikan aku cahaya. Hingga aku buta dan mengagumi diriku sendiri.
Tapi…hari itupun tiba. Dan mengembalikan alam sadarku. Kelak, akupun tahu. Ranum sebenarnya telah lama berhenti. Dia tak lagi berlayar bersamaku. Ranum yang saat aku terpuruk tiba-tiba ada di sampingku, Ranum yang kemudian seakan menjadi ibuku, adalah bukan dirinya. Dirinya yang memperturutkan juga hatinya. Saat itu hanya jasadnya yang menemaniku. Dia mempersembahkannya untukku. Agar aku tak terluka. Namun sungguh, …aku mengerti!.
Kamipun berlayar di sungai itu. Dengan rakit-rakit kayu yang begitu rapuh. Mengikuti arus yang amat melenakan. Tapi entah mengapa, kurasakan langkahku melesat terlalu cepat. Meninggalkan Ranum di balik punggungku.
Hingga sempat kulihat dia tertahan. Bergumam dengan hatinya sendiri. Bertanya: ”Apa benar ini yang kau inginkan?”. Sungguh, aku terperanjat!. Ingin rasanya aku berhenti. Namun kaki-kaki kekar hatiku tak mau berhenti. Aku kalah!.
Kutundukkan kepalaku dalam-dalam. Berharap keajaiban datang menggerogoti keputus-asaanku. Dan benar saja, gambaran Ranum tiba-tiba berdiri disampingku lagi. Di atas rakitnya. Mengiringi kembali perjalananku yang hampir tertatih-tatih.
Kembali sudah senyumanku yang sempat sirna. Bersama nyanyian-nyanyian Ranum yang menghiburku. Membuat aku merasa seperti bayi kembali. Dengan mata dan kulit yang masih segar. Saat itu Ranum seakan menjadi ibuku. Tempat aku berharap belaiannya saat menangis.
Dan aku yang bahagia kemudian terus mengembara dengan suka cita. Menembangkan lagu-laguku sendiri untuk Ranum. Biar aku dan dia tahu, bahwa aku mengasihinya. Karena bagiku, hanya dia yang mampu mengeluarkan aku dari sana…dari malam tanpa bulan dan bintang. Dunia yang tak pernah menberikan aku cahaya. Hingga aku buta dan mengagumi diriku sendiri.
Tapi…hari itupun tiba. Dan mengembalikan alam sadarku. Kelak, akupun tahu. Ranum sebenarnya telah lama berhenti. Dia tak lagi berlayar bersamaku. Ranum yang saat aku terpuruk tiba-tiba ada di sampingku, Ranum yang kemudian seakan menjadi ibuku, adalah bukan dirinya. Dirinya yang memperturutkan juga hatinya. Saat itu hanya jasadnya yang menemaniku. Dia mempersembahkannya untukku. Agar aku tak terluka. Namun sungguh, …aku mengerti!.
Pelangi Yang Baru Saja Mati
Akhirnya kita berpisah di sini
Di atas gedung tua ini
Tepat di tempat mana kita biasa meniti warna-warni pelangi
Saat senja, sebelum usai hari ini
Kau pun berlari
Meninggalkan aku yang masih saja berdiri, sendiri
Menggenggami pelangi yang baru saja mati!!
Saat tulang-tulang hatiku mulai patah
Di mana berdiri pun aku tak lagi sanggup
Kurasa akulah Si manusia terbatas
Dengan garis-garis yang bertitik akhir,
kata-kata yang berujung, atau juga perjalanan yang menepi
Sebab aku tak akan mampu mengenali cahaya
Redup, terang, atau sangat terang…semua gelap!
Saat tulang-tulang hatiku mulai patah
Aku akan menelisik kedalam jiwa
Menjadi aku
Yang tak menangis, tak meratap, atau berteriak
Tetapi diam!
Membiarkan sebagian alamku berlarian dan bermain lepas
Di sana, di kehijauan bukit harapan
Yang dikais-kais kaki dan tanganku
Karena aku adalah aku!
Saat tulang-tulang hatiku mulai patah
Dimana tubuhku tetap utuh dan terlihat tegap
Aku ingin membungkuk dalam-dalam
Mengurangi aku yang keterlaluan
Lalu menjenakakan apa-apa yang menamparku
Agar aku lebih aku sampai waktu yang tepat
Sampai dia yang terlahir untukku…
Tiba menemani hidupku!
Di mana berdiri pun aku tak lagi sanggup
Kurasa akulah Si manusia terbatas
Dengan garis-garis yang bertitik akhir,
kata-kata yang berujung, atau juga perjalanan yang menepi
Sebab aku tak akan mampu mengenali cahaya
Redup, terang, atau sangat terang…semua gelap!
Saat tulang-tulang hatiku mulai patah
Aku akan menelisik kedalam jiwa
Menjadi aku
Yang tak menangis, tak meratap, atau berteriak
Tetapi diam!
Membiarkan sebagian alamku berlarian dan bermain lepas
Di sana, di kehijauan bukit harapan
Yang dikais-kais kaki dan tanganku
Karena aku adalah aku!
Saat tulang-tulang hatiku mulai patah
Dimana tubuhku tetap utuh dan terlihat tegap
Aku ingin membungkuk dalam-dalam
Mengurangi aku yang keterlaluan
Lalu menjenakakan apa-apa yang menamparku
Agar aku lebih aku sampai waktu yang tepat
Sampai dia yang terlahir untukku…
Tiba menemani hidupku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar